Sekilas Historis dan Posisi Militer di Indonesia

Artikel Memperingati Hari Ulang Tahun TNI ke 62
5 Oktober 1945-2007


Sekilas Historis dan Posisi Militer di Indonesia

___________________________________________________________________________


Memasuki hari ulang tahun TNI ke 62 tahun sejak berdiri pada 5 oktober 1945, sejumlah perjalanan panjang TNI mewarnai pergulatan negri ini. Kini memang tidak lagi terdengar peran-peran politik TNI dalam kancah politik Indonesia. Namun bukan berarti bahwa sejumlah persoalan Militerisme di Indonesia telah tuntas. Masih kuat dalam ingatan kita bahwa Militerisme ataupun juga sejumlah para pejabat Militer Indonesia dinegri ini masih meninggalkan sejumlah catatan-catatan buruk yang belum tuntas dan msih terdapatnya sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum dapat dibawa ke Pengadilan. Sementara sejumlah kasus bisnis Tentara baik itu lembaga maupun yayasan bisnis Tentara pun, belum dapat diusut dan diambil-alih menjadi lembaga publik. Bagaimanakah jalan panjang sehingga institusi Militer dan Tentara di negri kita ini dapat memiliki ratusan aset-aset bisnis?


Revolusi Nasional 1945,
Awal Kemenangan Ekonomi dan Politik Militer Indonesia

Sejarah Militerisme Indonesia setelah mengalami proses Restrukturisasi dan Rasionalisasi dilakukan dengan maksud membangun citra Militer Indonesia sebagai tentara yang profesional. Institusi Militer inipun sempat berganti nama sekian kali, dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian dirubah kembali menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Nama ABRI pun berubah kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sampai sekarang. Institusi kesatuan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang sebelumnya tergabung dengan TNI, secara resmi telah dipisah dan menjadi Institusi tersendiri pada tahun 1999.

Kelahiran Tentara Indonesia muncul karena semangat perjuangan melawan Kolonialisme dan Imperialisme Belanda maupun Jepang. Paska Revolusi Nasional Indonesia, tepatnya pada tahun 1957, Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan menasionalisasi aset-aset perusahaan asing (Belanda) di Indonesia. Proses ini tentu saja digawangi oleh Tentara Indonesia. Sejumlah aset-aset perusahaan asing tersebut kemudian dikelola dan dikordinasikan dibawah naungan Institusi Militer. Selama proses pengambil-alihan modal-modal perusahaan tersebut, banyak dikuasai oleh para pejabat Militer, yang kemudian mulai memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan membangun basis ekonomi dan membentuk klik-klik ekonomi diantara kalangan mereka, baik itu meliputi Pejabat Tinggi Militer, Perwira Tinggi, Birokrat Militer, dan lain-lain. Para pejabat Militer akhirnya membentuk kroni bisnis tersendiri dan menjadi bagian serta memiliki relasi dengan perkembangan Kapitalisme di Indonesia. Tentu saja perkembangan ekonomi global turut mewarnai situasi ini.

Paska peristiwa Penumpasan Gerakan 30 September, 1965, Letnan Jendral Soeharto kemudian menjadi Presiden RI setelah menggantikan Soekarno dengan didukung oleh kekuatan asing. Dibawah pemerintahan Orde Baru, Militer kemudian menjadi pilar kekuatan Orde Baru yang sebelumnya telah secara bersama-sama tergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).


Militer Indonesia, Militer Kapitalistik, Pemilik Modal
Paska Kemerdekaan dan Revolusi Nasional 1945, situasi Politik dan Ekonomi Indonesia yang lemah serta dalam kondisi terbelakang, memungkinkan terjadinya sejumlah chaos dan penyelewengan kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para pejabat Militer. Apalagi ditengah kondisi menajamnya konflik kepentingan berbagai faksi borjuasi di Indonesia saat itu dan juga ditengah suasana kebangkitan perlawanan rakyat, serta ditengah situasi ekonomi-politik yang carut marut dan sarat berbagai kepentingan, seluruh kelompok kapital dalam negeri dan kapital-kapital Internasional membutuhkan sandaran kekuatan, dan sandaran itu pun jatuh pada Kubu Militer Indonesia. Tentu saja bukan tanpa alasan. Institusi Militer adalah salah satu Institusi yang solid dan jelas menguntungkan bekerja sama dengan mereka. Tentara ini jelas sangat dibutuhkan oleh pihak Modal asing untuk menjaga akumulasi modal mereka kemudian di Indonesia dengan segala kekuatan, pengaruh dan kedudukannya. Berbagai konsesi dan beragam kepentingannya ditawarkan.

Berbagai Yayasan didirikan dan dibangun oleh Institusi Militer dan sejumlah pejabat Tentara untuk berbisnis. Kemudian mereka masuk ke sektor Perdagangan, Industri, Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Penanaman Modal Saham pada berbagai Perusahaan besar. Militer Indonesia ini bertransformasi menjadi salah satu kekuatan modal. Selain bertugas sebagaimana fungsinya, menjaga keamanan, Militer juga merupakan Pemilik Modal dan akhirnya memiliki fungsi Politik dalam Negara.


Jalan Tengah, Cikal Bakal Dwi Fungsi ABRI.
Melalui konsep Jalan Tengah yang diajukan oleh Jenderal Nasution, dengan maksud menjadikan ABRI sebagai kekuatan dengan peran Sosial dan Politik, Soeharto mengadopsi konsep Jalan Tengah tersebut dan menjadikan ABRI sebagai Pilar pemerintahannya dan menerapkan Dwi Fungsi ABRI. ABRI kemudian menjadi golongan Fungsional yang dapat dipilih tanpa melewati proses Pemilu dan berdiri sebagai fraksi tersendiri yakni TNI/POLRI.

Fase antara sebelum Soekarno jatuh dan sebelum Soeharto berkuasa, didalam tubuh Militer atau Tentara saat itu tengah terjadi pertarungan politik, hal ini ditandai dengan adanya faksi-faksi didalamnya, seperti Faksi Dewan Jenderal; Faksi Soeharto dan Faksi Nasution. Faksi Soeharto-lah yang kemudian berhasil menggulingkan Soekarno dan berkuasa, kemudian menghajar faksi Dewan Jenderal dalam Peristiwa G-30 S/PKI. Pasca peristiwa tersebut Faksi Nasution tak mampu berkutik. Faksi Soeharto yang telah dididik dalam PETA, yakni Tentara didikan Jepang, lantas dengan mulus berkuasa dan mendapatkan dukungan pihak asing dan modal asingpun mengalir deras ke Indonesia.

ABRI dalam pemerintahan Orde Baru semakin meluaskan kekuatannya dengan membangun basis dan kerjasama dengan komunitas sektor masyarakat, yang sebenarnya bertujuan untuk mengontrol setiap aktivitas masyarakat. Pembangunan Struktur Teritorial dilakukan sebagaimana struktur hirarki Pemerintahan Sipil, yakni dari tingkat wilayah Provinsi sampai tingkat Desa, meliputi Komando Teritorial; Kodam – Korem – Kodim – Koramil – Babinsa.

Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan Lembaga Ekstra-Judicial yang melekatkan struktur sipil dan militer dalam satu kesatuan yang lebih banyak berfungsi dan memiliki otoritas sebagai lembaga Intelilejen atau lembaga yang bisa masuk ke wilayah sosial politik sipil, seperti: Bakortanas - Bakortanasda tingkat I - Bakortanasda Tingkat II dan atau Muspida - Muspika. Namun pada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Bakortanas/da tingkat I dan II dihapuskan


Kekuatan Sipil yang Lemah, Melahirkan Kekuatan Militer yang Kuat
Patut dicermati bahwa sesungguhnya kekuatan Militer muncul dan menguat karena kelemahan dan kepengecutan kekuatan-kekuatan sipil seperti Partai Politik, Organisasi Massa dan Gerakan Rakyat. Pada saat paska Kemerdekaan RI, dimana situasi pemerintahan dibawah Presiden Soekarno ketika itu carut marut dan sejumlah pelarangan diberlakukan terhadap sejumlah partai-partai politik tertentu. Militer menganggap kekuatan Sipil gagal membangun Pemerintahan. Dan memasuki Pemerintahan Orde Baru, kekuatan sipil dengan sengaja direpresi dan ditumpulkan oleh Soeharto, sehingga kekuatan Militer dengan bebas memainkan peranan

Dan setelah tumbangnya Soeharto kemudian memasuki era Eforia Reformasi, gerakan mahasiswa yang telah melakukan serangkaian aksi-aksi menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI, secara berkelanjutan mampu menggerakkan kesadaran masyarakat Indonesia dan mendorong rakyat bergerak secara spontanitas dan turun kejalan-jalan melakukan demonstrasi. Peristiwa ini terjadi secara meluas di berbagai kota di Indonesia menuntut Soeharto lengser. Saat itu kekuatan Militer jelas-jelas sangat terancam posisi politiknyanya, ketika Pelindungnya Soeharto lengser. Jadi pada tahun 1998, sebenarnya bukan Jendral Wiranto yang saat itu adalah Ketua Staf Angkatan Darat, tidak berambisi untuk mengambil alih kekuasaan, seperti dalam Iklannya di Media TV ketika mengikuti proses pencalonan dirinya sebagai Calon Presiden pada Pemilihan Umum 2004 silam. Tapi semata-mata lantaran memang Militer menyadari bahwa posisi mereka sedang terjepit dan akan berbahaya bila mereka berani mengambil alih kekuasaan, karena pasti tidak akan mendapat dukungan dari rakyat Indonesia maupun dari masyarakat dunia Internasional.

Memasuki pemerintahan Reformasi, kala terjadi pertarungan antara elit politik Reformis semasa Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan ditengah pertarungan elit sipil tersebut, Militer mencoba menguatkan peran dan posisinya melalui rencana pengajuan Rancangan Undang Undang-Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU-PKB). Namun dengan serangkaian aksi-aksi yang masif dari mahasiswa dan berbagai kelompok dan elemen masyarakat lainnya, RUU tersebut gagal disahkan. Setelah Presiden Abdurrahman Wahid lengser, Megawati kemudian naik menjadi Presiden. Pemerintah Megawati-Hamzah kemudian berhasil mengajukan Perpu Anti Teroris dan RUU TNI yang sempat ditunda namun akhirnya disahkan juga pada tahun 2004.

Lemahnya kekuatan Sipil Indonesia akhirnya membawa watak sipil Indonesia yang bersifat Pengecut dan oportunis, dan akhirnya seringkali menggantungkan diri pada kekuatan Militer. Kekuatan Sipil Indonesia lebih memilih menghanyutkan diri dalam pertarungan politik merebut kekuasaan, daripada menjalankan roda pemerintahan. Dan selalu mencari jalan kompromi diantara pertaruangan politik yang terjadi, baik antara partai politik itu sendiri maupun antara lembaga eksekutif dan legislatif. Tentunya kompromi yang saling menguntungkan atau bersifat win-win solution.



Maeda Yoppy

Wakil SekretarisJjendral
Eksekutif Nasional – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

_____________________________________________________________________

Komentar

Postingan Populer