Soeharto, Kapitalisme dan Kemiskinan



January 2008


UNTUK kali kesekiannya kondisi kesehatan mantan Presiden RI Ke-2 Haji Mohammad Soeharto memburuk dan terpaksa dirawat kembali di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Situasi ini memunculkan kembali pertanyaan dan wacana mengenai penuntasan kasus-kasus hukum yang melibatkan Soeharto, mantan orang nomor satu di Republik Indonesia ini. Kondisinya yang kini terbaring kritis di RSPP Jakarta menimbulkan empati dari berbagai pejabat, tokoh politik, lembaga, dan organisasi politik. Berbagai pihak menyatakan perlu adanya penghentian kasus-kasus hukum yang melibatkan Soeharto, yang kini berkas-berkasnya telah berada di Kejaksaan Agung dan tinggal menunggu proses hukum.
Sosok Soeharto sangatlah berjasa bagi keberadaan Partai Golkar dulu dan kini. Dapat dimengerti bila Partai Golkar meminta serta mengimbau pemerintah dan publik untuk dapat memaafkan serta menutup kasus peradilan dan gugatan terhadap Soeharto. Soeharto adalah salah satu pendiri, pembina, sekaligus Dewan Penasihat Partai Golkar semasa ia masih memimpin RI ini. Partai Golongan Karya (Golkar) yang kini kita kenal dengan lambang berwana kuning ini, dahulunya lahir dari sebuah lembaga bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan oleh kalangan tentara. Yakni perwira-perwira militer AD untuk menghadang kekuatan politik dan radikalisme gerakan sosialisme, saat itu di bawah naungan Front Nasional yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). ABRI sendiri adalah lembaga sentral di balik pendirian Sekber Golkar ini pada Oktober 1964, tepatnya setahun sebelum akhirnya terjadi peristiwa G 30-S/PKI pada September 1965. Dalam perjalanannya, kekuatan Golkar dan militer, khususnya Angkatan Darat, menjadi tulang punggung dan pilar pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Awalnya, Sekber Golkar ini bersifat nonpolitis, yakni menghimpun kelompok dan golongan fungsional murni yang tidak berafiliasi kepada kelompok politik tertentu pada masa itu. Namun dalam perjalanannya, Golkar menjadi sebuah partai politik dan merupakan partai terbesar sampai sekarang. Hal ini turut didorong dengan adanya pemberlakuan kebijakan loyalitas pegawai negeri sipil (PNS) terhadap Golkar, sehingga menggiring para pejabat PNS dari tingkat pusat sampai daerah-daerah menjadi bagian dari kekuatan basis massa Partai Golkar. Siapa pun tidak dapat menyangkal betapa sosok Jenderal Soeharto yang bergelar Bapak Pembangunan ini telah berjasa besar terhadap eksistensi, keberadaan, dan sepak terjang Partai Golkar pada masa ia berkuasa sampai sekarang.

Perkembangan Kapitalisme
Mantan Presiden Soeharto-lah yang berjasa besar dalam membuka keran-keran kapitalisme, sehingga tumbuh, mengalir, dan berkembang di Indonesia hingga kini. Awalnya, kapitalisme di Indonesia dicangkokkan oleh pemerintahan Belanda pada masa kolonialisme. Sesungguhnya, kapitalisme lahir di tengah pergolakan Revolusi Industri yang berkembang dari Inggris. Kemudian menyebar di berbagai wilayah negara Eropa. Seiring tumbuh dan berkembangnya kapitalisme awal di Eropa, seiring itu pula mesin-mesin industri digalang dan digerakkan secara massal, sehingga memerlukan bahan baku dan pasokan yang besar. Belanda sebagai bagian dari negara Eropa, bukanlah satu-satunya negara Eropa yang melirik Nusantara (baca: Indonesia) dengan segala kekayaan sumber daya alam dan manusia kita yang melimpah. Pertarungan negara-negara besar Eropa pun meletus memeperebutkan daerah-daerah subur di Benua Asia dan Afrika dalam kancah Perang Dunia I dan II dengan berpusat di Eropa.
Soekarno, presiden RI pertama, berulangkali menolak dan menghalang-halangi negara-negara Barat mengalirkan investasi, pinjaman uang, dan modalnya ke Indonesia. Menanamkan investasi uang atau modal atau pinjaman, berarti akan menuai surplus dan keuntungan bagi sang penanam. Kapitalisme yang lahir di Eropa, melazimkan segala hal dan tindakan yang dapat memberikan surplus dan keuntungan semaksimal-maksimalnya. Termasuk sekalipun mendukung diam-diam pembunuhan jutaan rakyat Indonesia pada peristiwa pembantaian tahun 1965 yang kini telah terungkap didukung oleh CIA atas nama pemberangusan gerakan sosialis-komunis di seluruh dunia. Kini gerakan fundamentalis Islam pun telah menjadi musuh bagi CIA dan negara-negara Barat, khususnya AS, demi pencarian kebutuhan akan minyak yang berpusat di Timur Tengah.
Kini perkembangan ekonomi Indonesia baik capaian dan kelemahannya merupakan buah hasil perkembangan kapitalisme sejak Soeharto memimpin. Kapitalisme kini telah bertransformasi dengan nama demokrasi liberal. Pembangunan di berbagai daerah, kini hanya dimaknai dengan sejauh mana telah berdiri mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan. Masyarakat dipaksa menjadi konsumeris alias konsumtif. Kini konsumerisme alias belanja atau ’’shopping” telah menjadi sebuah gaya hidup dalam kehidupan modern ala kapitalsime. Sementara, bangsa kita sampai sekarang masih lemah kemampuannya dalam membangun sektor-sektor produksi di berbagai bidang, baik itu industri minyak, pertambangan, pangan, pertanian, dll.
Kapitalisme hanya menawarkan kemakmuran dan keuntungan bagi mereka yang memiliki uang dan modal berikut relasi. Semakin besar uang dan modal, semakin baik keuntungan yang bisa diperoleh. Modal besar dan perusahaan-perusahaan besar akan selalu menyikat usaha-usaha dan modal kecil. Inilah hukum kapitalisme yang berlaku dalam setiap segi kehidupan kita, baik ketika ingin membangun usaha atau dagang; memperoleh pekerjaan; memperoleh pendidikan atau ketika ingin memperoleh akses terhadap apa pun, selalu menghambat masyarakat ekonomi bawah di negeri ini. Sementara selama ini yang memperoleh keuntungan besar adalah perusahaan-perusahaan dan waralaba asing yang menguasai hampir semua sektor perekonomian bangsa kita.
Sejumlah perusahaan-perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), juga telah dimasuki oleh modal-modal investor-investor asing. Bahkan, telah berpindah menjadi milik perusahaan asing. Pasca mantan Presiden Soeharto, para pemimpin dan pejabat negeri ini pun tidak mau melepaskan diri dari kungkungan sistem kapitalisme dan demokrasi liberal. Demikianlah sekarang, kondisi negeri kita yang tak kunjung bangkit dan kian terpuruk saja. Hasil pembangunan seperti inikah yang kita sebut sebagai jasa Soeharto bagi bangsa dan rakyat Indonesia? (*) my



Komentar

Postingan Populer